"Selamat Datang Di Blognya Gus Mied Baidlowi"

Oleh: Gus Mied Baidlowi
(Mahasiswa Fak. Hadits Ushuluddin Al-Azhar Cairo Mesir).

Dunia fana yang semakin tua umurnya, semakin terasa tua pula untuk dapat merasakan nilai-nilai cinta kasihnya. Sebagaimana cinta kasih yang pernah tertuang di masa baginda rasulullah yang mulia, yang senantiasa terabadikan dalam sejarah Islam seantero dunia. Itu semua disebabkan karena munculnya kelompok orang yang notabenenya mengaku sebagai pengikut rasulullah, tapi pada hakikatnya justru mereka sendiri yang jauh dan menyimpang dari akhlak mulia nabi dan nilai-nilai yang diajarkannya. Kanjeng rasul dalam setiap dakwahnya selalu mengedepankan sikap rahmah dan cinta kasih terhadap setiap manusia, baik dari kaum muslim maupun non muslim, sehingga Islam dengan pesat menyebar dipelbagai pelosok negeri saat itu, bahkan orang-orang yang pada awalnya menentang keras Islam tapi dengan sebab akhlak mulia sang baginda, mereka berbondong-bondong masuk Islam dengan rasa bangga. Berbeda dengan kelompok fundamentalis yang dalam setiap dakwahnya jauh dari mencerminkan akhlak baginda nabi, bahkan malah menjauhkan kaum muslimin dari ajaran Islam yang sebenarnya, bahkan tak heran mereka menyesat-sesatkan sesama kaum muslimin. Padahal untuk berdakwah mengislamkan satu orang kafir saja amat sangat susah, tapi dengan mudahnya mereka malah mengafir-kafirkan orang Islam yang tak bersalah. Apa kata dunia?

Sedih dan pilu rasanya, ketika melihat sekelompok golongan manusia yang dengan lantang berkata: “Kamilah sang pengamal al-Qur’an dan as-Sunnah”. Tapi pada kenyataannya merekalah yang menodai al-Qur’an dan as-Sunnah, membuat luka dan catatatan merah di hati orang-orang Islam yang lemah. Senjata pamungkas yang selalu di gembor-gemborkan ketika melihat perbedaan orang lain yang tidak sepaham, serta merta dari mulut mereka bak menghunuskan pedang yang sangat tajam yang akan melukai orang di sekelilingnya, dengan lantang mereka berkata: “Itu adalah perbuatan bid’ah, yang tidak ada asal-muasalnya”. Tak heran jika orang-orang Islam yang lemah imannya, takut dan tanpa berpikir panjang ikut mereka, karena mereka bak tuhan yang mengetahui segalanya, sang pemilik surga dan neraka, sehingga dengan seenaknya menghukumi orang lain sebagai pelaku bid’ah, bahkan syirik dan kafir. Namun lucunya ketika ditanya apa definisi dari bid’ah, syirik dan kafir? Mereka sendiri tidak benar-benar paham apa definisi, maksud dan tujuannya. So, sangat memalukan….!!!

Bid’ah dan Macam-Macamnya Menurut Kaum Fundamentalis

Sering kali kita mendengar para khatib masjid saat berkhutbah, dengan lantangnya mereka membacakan sebuah perkataan yang notabenenya terkenal dengan hadits rasulullah:

Iyyakum muhdatsatil umur, fa inna kulla muhdatsatil umur bid’atun, wa kullu bid’atin dlolalatun, wa kullu dlolalatin fi al-nar.
Yang artinya: “Jauhilah kamu sekalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya perkara-perkara baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan maka tempatnya adalah neraka”.

Di dalam hadits tersebut disebutkan semua yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat maka tempatnya adalah neraka. Tapi pada prakteknya berbeda, mereka sendiri membagi bid’ah menjadi dua:
a. Bid’ah di dalam ibadah atau sering disebut dengan bid’ah secara syar’i (syari’at)
b. Bid’ah di luar ibadah (adat) atau sering di sebut bid’ah secara lughawi (bahasa).

Nah, dari sini muncul pertanyaan, kenapa mereka membagi bid’ah menjadi dua?
Padahal hadits di atas menyebutkan secara keseluruhan, tanpa membaginya. Bahkan penulis adalah seorang mahasiswa jurusan hadits, dan telah mencari referensi buku-buku literatur hadits, namun tidak ada satupun hadits yang menjelaskan tentang pembagian bid’ah menurut versi mereka. Menurut penulis pembagian seperti itu adalah rekayasa mereka saja, supaya dengan mudah bisa menghukumi orang lain yang berbeda pendapat dan tidak sepaham dengan mereka sebagai pelaku bid’ah yang sesat, sedangkan bid’ah-bid’ah yang mereka lakukan adalah tidak termasuk dari bid’ah yang sesat.

Setelah mereka membagi bid’ah menjadi dua, selanjutnya mereka menghukuminya. Bagi mereka bid’ah di luar ibadah (adat) atau yang sering di sebut bid’ah secara lughawi hukumnya boleh, sedangkan bid’ah di dalam ibadah atau yang sering di sebut bid’ah secara syar’i hukumnya haram.

Pernah suatu ketika teman penulis di bilang bid’ah gara-gara dia berdzikir dan membaca shalawat menggunakan tasbih. Karena bagi mereka tasbih adalah bid’ah, hal baru yang tidak ada di zaman rasulullah. Kalau mereka dengan mudahnya mengklaim tasbih itu sebagai sebuah bid’ah yang sesat, penulis ingin mengajak para pembaca untuk melihat masjid-masjid yang mereka gunakan untuk ibadah sholat setiap harinya. Ternyata masjid-masjid mereka sendiri telah tercampur oleh bid’ah-bid’ah dan hal-hal baru yang tidak ada di zaman rasulullah.

Beberapa contoh dari hal-hal baru itu, adalah;
a. Di zaman rasulullah, tempat pengimaman itu lurus tidak dibuat cekungan di depannya sama sekali, dan hal ini yang membuat bid’ah pertama kali adalah sayidina Umar bin Khattab ra, dengan tujuan agar suara seorang imam akan lebih keras terdengar oleh makmum saat sholat, karena suaranya akan memantul ke belakang..
b. Sebuah mimbar tinggi dan bertingkat yang di gunakan untuk berkhutbah, itupun dizaman rasulullah tidak ada, dan yang membuatnya pertama kali adalah sayidina Abu Bakar ra.
c. Bid’ah yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
d. Kitab suci al-Quran dizaman rasulullah tidak boleh di bukukan, tetapi apa yang terjadi ketika zaman sayidina Utsman bin ‘Affan? Al-Quran telah dibukukan dengan rapi bahkan ditulis lagi dan diperbanyak, untuk tujuan apa al-Qur’an di bukukan kalau tidak untuk mempermudah beribadah dengan membaca kalam suci Ilahi setiap harinya.
e. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra’, yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.
f. Kemudian setelah zaman semakin modern terciptalah microphone, sebuat alat pengeras suara yang di gunakan oleh para imam sholat di masjid-masjid dan tidak terkecuali juga masjid al-Haram dan masjid al-Nabawi, padahal ini adalah produk baru yang sama sekali tidak ada dizaman rasulullah.
g. “Doa adalah inti ibadah” sabda kanjeng rasul. Dan dizaman sekarang banyak orang yang berdo’a dengan menggunakan bahasanya sendiri-sendiri (non bahasa Arab). Lantas apakah ibadah do’a karangan sendiri dengan menggunakan bahasa selain Arab termasuk bid’ah yang sesat yang akan mengakibatkan sang pelakunya masuk neraka? Sungguh, kata bid’ah bak momok yang menyeramkan lebih seram dari sekedar hantu pocong ataupun kuntilanak gentayangan.

Dari contoh-contoh sederhana di atas, cukup sudah untuk mengoreksi kembali pemahaman dangkal tentang bid’ah. Kalau mereka konsisten memegang teguh pendirian dan pemahaman mereka, maka seharusnya contoh hal-hal baru yang telah penulis sebutkan seharusnya tidak mereka gunakan, karena mengingat itu semua adalah bid’ah dalam beribadah (syar’i) yang tidak pernah dilakukan oleh rasulullah. Tapi, pada kenyataannya mereka bak telah memakan air ludahnya sendiri, membid’ah-bid’ahkan dan menyesat-sesatkan orang lain tapi memperbolehkan untuk golongannya sendiri.

Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah

Bagi penulis makna bid’ah bukan seperti yang mereka ungkapkan. Sebab Allah telah menciptakan manusia dengan berbeda-beda karakter dan sifatnya. Allah tidak menciptakan manusia berhati baik semua, ataupun berhati busuk semua. Melainkan ada manusia yang berhati baik dan ada pula yang berhati busuk. Dari orang yang berhati baik akan muncul bid’ah dan pembaharuan-pembaharuan yang baik. Dan dari orang-orang yang berhati busuk maka akan lahirlah bid’ah dan pembaharuan-pembaharuan yang buruk pula.
Sebagai contohnya adalah buah Anggur. Darinya akan bisa muncul dua macam bentuk bid’ah; baik (hasanah) dan buruk (sayyiah). Pada asalnya buah Anggur hukumnya adalah halal, tetapi apabila dibuat bid’ah (hal yang baru) dengan cara dipendam dalam waktu tertentu maka berubah menjadi khamr (minuman keras), sedangkan apabila buah Anggur itu di keringkan dengan cara dijemur dalam waktu tertentu maka akan berubah menjadi Kismis yang dalam bahasa arab dinamakan Zabib. Kedua bid’ah itu ketika ditimbang dengan dasar hukum agama Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah), maka mempunyai hukum yang berbeda walaupun sama-sama bid’ah. Khamr (minuman keras) merupakan contoh bid’ah sayyiah yang hukumnya sudah jelas haram untuk diminum. Sedangkan Kismis adalah contoh bid’ah hasanah yang sama sekali tidak di haramkan oleh syari’at Islam, maka hukumnya halal untuk dimakan.
Sehingga rasulullah bersabda:

Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, falahu ajruha wa ajru man ‘amila biha, wa man sanna fil Islami sunnatan sayyiatan, fa ‘alaihi wizruha wa wizru man ‘amila biha ila yaumil qiyamah duna an yanqusho min auzarihim syai’.
Yang artinya: “Barang siapa membuat sunnah (tradisi baru) yang baik didalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkannya, dan barang siapa yang membuat sunnah ( tradisi baru) yang jelek, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat nanti tanpa berkurang sedikitpun dari dosa-dosa mereka”.

Dari sebuah bid’ah hasanahlah kemudian setelah berjalannya waktu yang cukup panjang maka istilah bid’ah berubah menjadi sebuah sunnah hasanah yang patut untuk tetap dilestarikan, dan dari bid’ah sayyiahlah asal-muasal sunnah sayyiah yang sesat dan menyesatkan. Jadi, tidak semua yang berbau baru dan modern itu adalah bid’ah yang sesat dan tidak ada sumbernya dalam dasar hukum Islam.
Sejak awal rasul sudah memberikan sebuah kaedah, yang berbunyi:

Man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa roddun
Yang artinya :” Barang siapa membuat hal baru dalam perkara kami ini (Qur’an dan Hadits), yang bukan termasuk darinya maka tertolak”.

Hadits di atas ini sangat benar dan sesuai dengan apa yang telah di lakukan oleh para sahabat dan ulama’ salafus sholih. Akan tetapi yang terjadi adalah “nashshun shohihun wa fahmuhu khoti’un li nashshin shohihin”. Hadits di atas sering dipahami keliru oleh mereka kaum foundamentalis yang selalu bersifat tekstual tanpa melihat tanda-tanda dan makna yang tersirat di dalamnya. Sebab hadits di atas kalo kita teliti dengan jeli maka akan mengungkapkan hukum bid’ah dengan muhkam dan jelas. Tanda-tanda yang perlu dicermati adalah perbedaan makna lafadz fi dalam kalimah “fi amrina dan lafadz “min” dalam kalimat “minhu”. “Fi” dalam kalimat “fi amrinaadalah bentuk pembaharuan yang sama sekali tidak bersumber dari nilai-nilai yang telah di perintahkan oleh dasar hukum Islam, sedangkan “min” dalam kalimat "minhu" adalah bentuk pembaharuan yang berasal dari nilai-nilai yang telah diperintahkan oleh dasar hukum Islam. Sehingga hadits di atas mempunyai mafhum mukhalafah atau makna tersirat sebagai berikut :

Man ahdatsa fi amrina hadza ma huwa minhu fa laisa roddan yakni maqbulan
Yang artinya :”Barang siapa membuat hal baru di dalam perkara kami ini (Qur’an dan Hadits) yang bersumber darinya maka itu tidak tertolak alias diterima”.

Berangkat dari pemahaman cermat dan tepat dari hadits di atas, para sahabat dan ulama salafus shaleh membuat pembaharuan di dalam Islam, sebagaimana sayidina Umar bin khattab mengusulkan pembukuan al-Quran, dan al-Imam syafi’i merumuskan ilmu-ilmu baru dalam khazanah ke-Islam-an seperti ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits dan lain sebagainya. Sehingga beliau al-Imam al-Syafi’i dengan tegas membagi bid’ah menjadi dua; hasanah dan sayyiah. Bid’ah hasanah adalah sebuah pembaharuan yang tidak menyimpang dari dasar hukum Islam (Qur’an dan Sunnah), sedangkan bid’ah sayyiah adalah pembaharuan yang menyimpang dan melanggar ketentuan Qur’an dan Sunnah.

Mereka para sahabat dan para ulama’ sekaliber para imam madzhab, adalah orang-orang yang telah memahami al-Qur’an dan as-Sunnah dengan benar. Hanya para ulama’ gadungan yang sok pintarlah, yang dengan mudah membid’ah-bidahkan bahkan menyesat-seesatkan orang lain padahal pada hakikatnya mereka sendirilah yang sesat dan menyesatkan, karena tipu daya syetan yang membuat diri mereka sombong dan karena sebab kejahilan mereka merasa dirinya paling benar.

Sebenarnya Allah telah menjelaskan itu semua di dalam al-Quran, sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 83:
Law rodduhu ilar rasuli wa ila ulil amri minhum, la’alimahulladzina yastanbithunahu minhum.
Yang artinya: “Jikalau mereka mengembalikannya (segala permasalahan) kepada rasulullah dan ulil amri di antara mereka, maka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya, akan dapat mengetahuinya (beristinbat) dari mereka (rasul dan ulil amri).

Istilah “ulil amri”, tidak selalu bermakna seorang penguasa atau pemerintah, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni setiap orang yang menguasai suatu permasalah atau suatu urusan, maka dia termasuk dari ulil amri. Dalam hal ini mereka para sahabat dan ulama’ sejati seperti imam-imam madzhab termasuk dari ulil amri.dalam urusan menggali dasar hukum agama Islam (Qur’an dan Hadits) dan menerapkannya sesuai dengan maslahat dan perkembangan zaman. Sehingga mereka tidak serta merta menghukumi segala sesuatu dengan seenak perutnya sendiri sebagaimana peringatan Allah dalam surat an-Nahl ayat 116:

Wa laa taqulu lima tasifu alsinatukumul kadziba hadza halalun wa hadza haramun litaftaru ‘alallahil kadziba, innalladzina yaftaruna ‘alallahil kadziba la yuflihun.
Yang artinya: “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang di sebut-sebut oleh lidahmu secara dusta; “ini halal, dan ini haram”, untuk membuat kebohongan publik kepada Allah. Sesungguhnya orang yang membuat kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung”.

Jika mereka orang-orang fundamentalis (kelompok Wahhabi dan konco-konconya) bersikukuh berpendapat bahwa semua bid’ah adalah sayyiah dan sesat, maka mereka bak layaknya menghukumi sesat para sahabat dan para ulama’ salafus shalih. Bagi penulis lebih baik mengikuti bid’ah-bid’ahnya para sahabat nabi dan ulama’ salafus shalih, dari pada harus mengikuti pemikiran dan bid’ah-bid’ah sesat kelompok wahhabi dan antek-anteknya. Penulis dan orang-orang yang melestarikan bid’ah-bid’ah hasanah para sahabat dan ulama’ salafus shalih rela dengan sepenuh hati jika harus masuk neraka bersama para sahabat dan para ulama’ sejati yang selalu dalam naungan ridlo dan inayah Allah. Dan bagi kalian kaum fundamentalis silahkan masuk ke dalam surga yang telah kalian iklankan setiap harinya bersama teman-teman kalian. Bagi kami inilah jalan kami, dan bagi kalian itulah jalan kalian….!!!!

Walaa haula walaa quwwata illa billah.


Lainnya:

Popular Posts